Contoh Karangan Narasi


Penantian Terakhir

tugas Bahasa Indonesia saya membuat karangan narasi, enjoy!
Langit kini mulai kelabu, pekat menggantung di atas kepalaku. Jam  tanganku hampir menunjukkan pukul setengah 4 sore. Ah, selama ini menunggu selalu menjadi hal yang menyebalkan bagiku. Namun kali ini, menunggunya—seseorang yang sedang kutunggu—menjadi sesuatu yang membuat jantungku berdegup kencang, tak beraturan. Ya, di tempat yang telah kami sepakati ini, ia berjanji untuk menemuiku demi menyampaikan sesuatu yang penting. Sesuatu yang penting? Tiga kata itulah yang membuat otakku berputar dan mencoba menerka-nerka, gerangan apa yang akan terjadi? Jujur saja, aku mengharapkan kata-kata yang akan keluar dari mulutnya adalah kalimat yang selalu kutunggu waktu kedatangannya, karena memang sudah terlalu lama aku berdiam diri dan memilih untuk menutup-nutupi sesuatu yang berkecamuk di relung hatiku. Aku pikir, aku dan dia sudah cukup dekat, saling mengerti karakter satu sama lain, dan seringkali saling membantu dan melengkapi satu sama lain—dengan kata lain, aku menunggu kepastian. Dan seiring dengan terbuangnya detik yang kulewati dengan menunggu dan harap-harap cemas, akhirnya seorang yang kutunggu perlahan muncul dari kaki langit dan ia melambaikan tangannya padaku. Sejenak aku tak dapat memikirkan apapun, aku hanya mendengar desiran darah yang mengalir deras dalam tempo yang cepat, serta jantungku yang berbunyi seperti beduk di masjid-masjid.
Ia semakin mendekat. Dari cara berjalannya dapat kulihat ia canggung dan tampak ragu. Dalam hitungan detik, ia telah berada disampingku. Sorot matanya lemah, menandakan ia tengah letih. Namun sesaat kemudian ia memulai percakapan dengan basa-basi lawas. Kemudian, pembicaraan kami mengarah ke topik yang lebih meruncing. Tadinya aku merasa sangat percaya diri karena ia banyak menyebut-nyebut masalah keakraban diantara kami berdua, terlebih ketika ia mengatakan masalah perasaan. Rasanya aku ingin cepat mendengar kata yang ingin kudengar dari mulutnya. Namun sampai satu detik ketika aku terhenyak mendengar pernyataan yang keluar dari mulutnya, rasanya aku malah ingin melompat dari gedung pencakar langit. “maukah kamu membantuku mendekati adik kelas yang sering kau ceritakan padaku? Aku mulai mengaguminya..”
Mendengar pernyataan itu seperti mendengar suara petir di siang bolong. Dan, benar saja, meski bukan di siang bolong, petir tetap menyambar membelah cakrawala. Ia tersentak, tapi tidak denganku, yang masih cukup terhenyak dengan kata-kata yang barusan kudengar. Sedetik kemudian, tetesan air jatuh dan membasahi bumi. Ia menarik tanganku dan mengajakku menepi ke tempat yang teduh. Ia keheranan melihat tetesan air yang bergulir di pipiku. Aku berbohong dengan mengatakan air mataku sebagai air hujan yang mengalir begitu saja di wajahku. Ia tak percaya. Kemudian ia meminta jawaban atas permintaan tolongnya. Aku merasa sangat kecewa dan lari begitu saja darinya—menembus hujan yang sudah mulai deras.
Hari-hari pun kemudian kulalui tanpa semangat seperti biasa, dan kini aku menghindari setiap kesempatan untuk bertatap muka dengannya. Sampai-sampai suatu hari ia menegurku tanpa mendapat jawaban dariku. Selalu begitu setiap waktu, hingga hubungan di antara kami makin renggang. Hingga suatu saat, kudengar kabar yang tersiar bahwa ia telah berhasil menaklukkan hati si adik kelas. Aku sama sekali tak merasa kaget dan kecewa, karena sejak awal aku merasa hal ini akan terjadi. Sekarang, tak ada lagi harapan yang kutanam dalam lubuk hatinya, karena aku tahu telah ada yang menempati relung hatinya. Sungguh, penantianku untuknya merupakan penantian terakhir yang akan kulakukan untuknya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Hemi's Timeline Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template and web hosting